25/04/15

Mencoba Menjadi Kartini Sejati

Setiap tahun, setiap tanggal 21 April kita selalu merayakan Hari Kartini. Begitu ramai. Merayakannya dengan menggunakan kebaya atau baju adat lainnya (Entah hubungannya dengan Kartini sendiri apa). Tapi itulah Indonesia.

Dulupun, waktu SD gue juga merayakan Hari Kartini dengan memakai baju adat. Sebagai anak kecil yang polos gue ikut aja. Lagi juga seru satu hari itu kita keliling sekolah dan gak belajar. Haha.

Tapi gue udah 19 tahun (gonna be). Kayanya kurang cocok kalo pengetahuan yang gue tahu soal Ibu Kartini hanya sebatas itu. Dan sebenernya dimulai karena suatu malam pada tanggal 21 April, gue sedang asik scroll timeline twitter gue dan gue menemukan sebuah tweet yang membuka mata gue.





Nah, dari tweet inilah gue merasa gue sangat payah. Gue kan suka baca buku, tapi kenapa gak pernah kepikiran buat nyari buku ini. Buku yang judulnya sangat terkenal tapi apa isinya? sayangnya hanya segelintir orang saja yang tahu.

Akhirnya gue cari-cari ditoko buku online yang masih jual ini. Dan gue menemukannya di bukabuku.com. Tanpa pikir panjang gue langsung order dan bayar (padahal tanggal tua ya). Ah gue gak mikirin. lagi murah kok cuma 35.000 aja. Dan ongkir 8.000 jadi 43.000 aja deh harga buku itu. 

Jumat kemarin bukunya sampai. Dan ternyata lumayan tebel juga lho.

Seneng banget pas buku ini dateng :D


Dan setelah itu gue baca deh. Sebenernya belum selesai sih. Cuma gue udah mulai paham jalan cerita bukunya.

Buat yang belum pernah baca buku ini, isi dari buku ini adalah kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Belanda. Isinya penuh dengan keresahan layaknya remaja (saat nulis surat Kartini masih sekitar 20an). Kartini bercerita betapa ia lelah dengan adat Jawa. Betapa ia iri dengan perempuan Barat yang sudah maju dan bebas ingin melakukan apa saja. 

Kartini sebelumnya pernah dipingit dari umur 12-16 tahun sama sekali tidak pernah merasakan dunia luar (berasa dipenjara). Disinilah Kartini merasa sangat lelah. Hanya melihat 4 dinding besar saja. 

Kartini juga menyinggung soal agama. Beliau bercerita bahwa ia beragama islam hanya karena nenek moyang. tapi ia sendiri tidak paham apapun. Karena Al-Qur'an pada masa itu tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Sehingga ia merasa tidak dapat memahami agamanya itu (Pikiran yang kritis). 

Mungkin orang-orang lainnya hanya patuh saja membaca kitab suci tersebut. Namun Kartini merasa bahwa ia harus juga paham isi dari ayat-ayat didalam kita tersebut. Dia membandingkan seperti membaca kitab bahasa inggris. Kita dipaksa mengapalnya namun tidak sedikitpun kita diizinkan mengetahui artinya.
Kartini juga bercerita soal pernikahan. Beliau seperti agak sinis dengan pernikahan. Karena rasanya seperti mengekang. Tapi bukannya ia tidak mau. Hanya saja ia ingin menikah dengan laki-laki yang disukainya.

Gue yakin dihalaman-halaman selanjutnya masih banyak sekali keresahan-keresahan Kartini akan masanya yang sangat mengekang. 

Sebagai pemuda/i generasi sekarang, gue rasa kita emang perlu menengok kebelakang sejenak untuk tahu bagaimana masa lalu dan bagaimana para generasi lalu mencoba memperbaiki. Ngeri bener omongan gue haha.

Engga sih intinya yah jangan sampai kita mengelu-elukan seseorang. Tapi kita sendiri tidak tahu sejarah orang tersebut. So, mulai cari tahu cerita pendahulu-pendahulu kita yuk. 

Gue sudah memulainya. Kalian juga ya! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar